
Dewasa ini konflik Laut China Selatan merupakan perbincangan yang tak ada habisnya, tak diragukan sebab klaim China dan keputusan pengadilan internasional 5 tahun lalu tidak menemui titik terang. China mengklaim hampir keseluruhan kawasan di Laut China Selatan seluas 3,5 juta kilometer persegi atas apa yang disebut “sembilan garis putus-putus,” yang menurut negara itu berdasarkan pada peta-peta kuno. Klaim China tidak hanya tumpang tindih dengan Filipina, namun juga dengan Brunei, Malaysia, Vietnam dan Taiwan. Beberapa perselisihan tersebut telah berlangsung selama beberapa dasawarsa atau bahkan berabad-abad. Namun, ketegangan semakin memburuk di tahun-tahun belakangan ini, sejak Beijing melakukan berbagai tindakan untuk memperkuat kendalinya atas wilayah yang disengketakan.
Hingga pada Januari 2013 lalu di Pengadilan Arbitrase, Den Haag, Pemerintah Filiphina pun mengangkat kasus ini pada pengadilan internasional, atas pelanggaran China terhadap UNCLOS. Gugatan Filiphina pun terjawab melalui keputusan bahwa pengadilan Arbitrase membatalkan klaim teritorial China atas Laut China Selatan, dengan menyatakan “tidak ada dasar hukum” penguasaan kawasan maritim yang luas tersebut pada 12 Juli 2016 lalu. Meski demikian, China memboikot seluruh tindakan hukum yang dilakukan Pengadilan Arbistrase, dengan menyatakan bahwa badan tersebut tidak memiliki jurisdiksi terhadap perselisihan yang terjadi. Beijing juga bersikukuh bahwa mereka tidak akan menerima, mengakui, atau mengimplementasikan keputusan apapun menyangkut Laut China Selatan, meskipun mereka adalah salah satu negara yang ikut menandatangani UNCLOS. China tetap melanjutkan pembangunan pulau-pulau buatan dan pos-pos militer di perairan yang menjadi sengketa, sebagai usaha untuk menciptakan “kenyataan di lapangan.”
Ketegangan antara Malaysia dan China sudah berlangsung semenjak beberapa tahun belakangan, kedua negara itu kerap berselisih soal Laut China Selatan, tapi sebatas perseteruan di laut. Analis kebijakan luar negeri dari CSIS, Shahriman Lockman, mengatakan kepada VOA bahwa insiden antara China dan Malaysia di LCS bahkan bisa terjadi seminggu sekali. Namun, insiden itu kerap luput dari perhatian lantaran kedua pemerintah akur dan meminimalisir perselisihan. Pasalnya, kedua negara memiliki hubungan perekonomian yang kuat. China dan Malaysia bersitegang kembali usai 16 jet tempur Tiongkok masuk wilayah udara Negeri Jiran di daerah sengketa Laut Cina Selatan, 31 Mei 2021 menambah daftar perseteruan yang sebenarnya jarang terjadi antara kedua negara.
Adapun perseteruan China dan Malaysia juga terjadi saat pada 19 November 2020, mereka mengganggu anjungan pengeboran Malaysia dan kapal pemasok yang beroperasi 44 mil laut (81,5 kilometer) lepas pantai. Selain insiden yang menjadi sorotan ini, kapal-kapal Malaysia juga sering kontak verbal dengan China. Lockman mengatakan bahwa para pejabat Malaysia sebenarnya menganggap insiden itu menjengkelkan. Namun, mereka tak bisa melakukan apa-apa demi menjaga hubungan diplomasi kedua negara.
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan cek IG HMHI UNRAM di bawah:
SUMBER :