Mataram – International Relations Mothly Discussion (IRMD) merupakan salah satu kegiatan diskusi bulanan mahasiswa/i Hubungan Internasional Unram yang kembali diadakan pada tanggal 26 Maret lalu dengan mengambil tema yang menarik, hangat dan sering diperbincangkan di Indonesia terkait isu kesetaraan gender dan masuknya Indonesia dalam keanggotaan G20. IRMD Maret ini mengambil tema feminisme dengan judul “Keterlibatan Perempuan dalam Dunia Politik sebagai Agenda Presidensi G20 Indonesia 2022” yang didampingi oleh Ibu Purnami Safitri, S. IP., MA. Beliau merupakan dosen sekaligus penggiat Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Mataram. Kegiatan ini berlangsung secara hybrid, yakni menggunakan platform Zoom Meeting dan juga secara tatap muka di Gedung Soebiyanto FISIPOL Universitas Mataram. Pertama-tama, acara dibuka oleh moderator yang sedikit menjelaskan garis besar tema tentang isu kesetaraan gender dalam dunia politik sebagai salah satu agenda G20 2022. Selanjutnya, acara diambil alih oleh Ibu Purnami Safitri dan mulai menjelaskan mengenai masalah kesetaraan gender, yang mana masalah ini bukanlah masalah baru dalam dunia politik. Ibu Purnami menjelaskan tentang bagaimana peran perempuan dalam dunia politik masih sering diabaikan. Namun, adanya G20 diharapkan dapat menjadi tempat untuk merangkul kelompok marginal, khususnya merangkul kelompok perempuan, dan tidak hanya dijadikan sebagai ajang untuk showoff bagi para pemangku kepentingan. Presidensi Indonesia diharapkan dapat membawa perubahan di G20 tahun ini, khususnya di bidang finansial/ekonomi pembangunan. Dalam bidang ekonomi pembangunan, perempuan tentu saja dapat dilibatkan. Ibu Purnami menjelaskan tentang organisasi internasional yang dapat dijadikan wadah untuk membawa perubahan bagi negara – bahkan dunia – dengan adanya kesetaraan gender, namun masalah tersebut sampai saat ini belum bisa terselesaikan. Ibu Purnami juga menjelaskan manfaat dari peran aktif dan keterwakilan perempuan, antara lain sebagai agen perubahan (as agent of change), women as game changer, perempuan sebagai pembuat kebijakan(women as decision makers),dan for radical change yang mana poin-poin ini disebut juga sebagai empower initiative.Tujuan dari empower initiative sendiri adalah untuk mendorong kepemimpinan dan pemberdayaan perempuan di semua sektor (baik dalam publik atau swasta) karena dalam realitanya, perempuan masih sering dijadikan pilihan terakhir dalam penentuan jabatan/posisi dalam dunia pekerjaan. Padahal, adanya keterbukaan akses bagi perempuan merupakan kunci untuk mendapatkan kontrol.

Menurut Inter Parliamentary Union, partisipasi perempuan dalam dunia politik di Indonesia berada pada peringkat ke-6 di ASEAN, dan menduduki peringkat 89 dunia dari 189 negara yang lebih rendah dari Afghanistan, Vietnam, Timor leste, dan Pakistan. Hal ini dinilai dari 5 aspek, yang disebut juga 5 Key Performance Indicator, yaitu antara lain pembagian peran yang seimbang, persentase perempuan yang dipromosikan, gender pay gap, persentase perempuan dalam jajaran direksi, dan persentase perempuan dalam STEM.
Sesi pembahasan kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Dalam sesi diskusi IRMD kali ini, terdapat beberapa pertanyaan menarik salah satunya adalah terkait kesetaraan gender dan emansipasi wanita. Salah seorang mahasiswa menanyakan apakah kedua hal tersebut sama yang menurut Ibu Purnami Safitri, “Kesetaraan gender dan emansipasi wanita tidaklah sama, kesetaraan gender merupakan visi dan memiliki artian yang lebih luas, sedangkan emansipasi merupakan bentuk/partisipasi perempuan dalam kesetaraan gender tersebut. Jika kesetaraan gender sudah tercapai, maka secara otomatis emansipasi akan berjalan. Emansipasi masih memiliki berbagai macam tingkatan, sedangkan kesetaraan gender merupakan bagian dasarnya.”
Diskusi ditutup dengan Ibu Purnami yang memaparkan bahwa pemahaman tentang kesetaraan gender dapat dilakukan secara kultural, yakni melalui pembiasaan kita dalam berpikir. Pembangunan saat ini diharapkan dapat melakukan pemerataan/perubahan khususnya dalam mewujudkan kesetaraan gender dengan tidak hanya menggunakan cara yang lama, yang hanya “mementingkan kebutuhan laki-laki saja”. Pembangunan ini juga diharapkan dilakukan secara merata khususnya di daerah terpencil dan tidak hanya di kota-kota saja.
Penulis: Sofia Alkaff
Editor: Silmi Fadhlina